Oleh Kompas Cyber Media Benda kecil
berbahan utama tembakau ini menyenangkan bagi sebagian orang, tetapi
menyebalkan bagi sebagian lainnya. Benda yang disebut rokok itu bisa membuat
orang yang mengisapnya merasa tenang dan percaya diri-begitulah pengakuan
sebagian perokok-namun sebaliknya bagi mereka yang terpaksa mengisap asapnya,
meskipun bukan perokok. Kelompok terakhir itu disebut sebagai perokok pasif.
Artinya, mereka tidak merokok tetapi harus turut merasakan akibat buruk dari rokok
yang dibakar. Para perokok pasif ini bisa dikatakan tak punya pilihan, selain
harus turut "menelan" asap rokok yang dinikmati para perokok.Padahal,
menurut Tjandra Yoga Aditama, dokter spesialis paru yang juga Ketua III Lembaga
Menanggulangi Masalah Merokok (LM3), asap rokok yang terpaksa diisap perokok
pasif kandungan bahan kimianya lebih tinggi dibandingkan dengan asap rokok
utama. Hal ini disebabkan tembakau terbakar pada temperatur lebih rendah ketika
rokok sedang diisap. Ini membuat pembakaran menjadi kurang lengkap dan
mengeluarkan banyak bahan kimia. "Asap rokok mengandung sekitar 4.000
bahan kimia, 43 di antaranya jelas-jelas bersifat karsinogen. Pengaruh asap
rokok pada perokok pasif itu tiga kali lebih buruk daripada debu batu
bara," kata Tjandra Yoga Aditama seperti ditulisnya pada buletin Rokok
& Masalahnya. WHO, badan kesehatan PBB, katanya, bahkan memperkirakan
hampir sekitar 700 juta anak atau sekitar setengah dari seluruh anak di dunia
ini terpaksa mengisap udara yang terpolusi asap rokok. Ironisnya, hal itu
justru terjadi lebih banyak di dalam rumah mereka sendiri.
Di Indonesia, perokok relatif bebas
mengisap rokok di mana saja. Kawasan bebas rokok di negeri ini masih amat
minim, itu pun sangat mungkin dilanggar karena sanksinya bisa dikatakan tidak
ada. Padahal, kalau seseorang merokok, itu berarti dia hanya mengisap asap
rokoknya sekitar 15 persen saja, sementara yang 85 persen lainnya dilepaskannya
untuk diisap para perokok pasif. "Ada beberapa penyakit yang bisa timbul
hanya karena mereka menjadi perokok
�hanya�
pasif. Misalnya infeksi paru dan telinga,
gangguan pertumbuhan paru, atau bahkan dapat menyebabkan kanker paru,"
ujar Tjandra yang juga Direktur Medik dan Keperawatan Rumah Sakit Persahabatan,
Jakarta. SEBAGIAN perokok tak bisa memahami-apalagi diharapkan untuk
bertoleransi-pada ketidaknyamanan perokok pasif yang terpaksa mengisap asap
rokok. Perokok pasif harus mencium bau bakaran tembakau sampai merasa sesak
napas. Bahkan, pada sebagian perokok pasif yang sensitif akan langsung
terbatuk-batuk saat itu juga. Menurut Tjandra Yoga Aditama, penelitian yang
pernah dilakukan di Amerika Serikat (AS) menunjukkan kematian akibat asap rokok
pada perokok pasif lebih tinggi dibandingkan dengan kematian sebab polusi udara
lainnya. Risiko terjadinya kanker paru di kalangan perokok pasif yang tinggal
serumah atau sekantor dengan perokok lebih tinggi daripada mereka yang tinggal
bersama non-perokok. "Kemungkinan terjadinya kanker paru pada perempuan
yang suaminya perokok sekitar 20 sampai 30 persen lebih tinggi dibandingkan
dengan mereka yang pasangannya tidak merokok," dia menambahkan.Di China
bahkan disebutkan bahwa penyakit jantung koroner pada perempuan yang suaminya
perokok sekitar 24 persen lebih tinggi dibandingkan dengan yang suaminya tidak
merokok. Angka ini meningkat sampai 85 persen bila perempuan itu juga menjadi
perokok pasif di tempat kerjanya.
Tjandra Yoga Aditama menambahkan, sekitar
75 persen perokok yang mencoba berhenti ternyata gagal mewujudkan keinginannya
itu. "Mereka biasanya mampu berhenti merokok untuk beberapa waktu, namun
toh akhirnya kembali lagi menjadi perokok," cetusnya. Dalam buletin Rokok
& Masalahnya disebutkan, perokok yang berhenti merokok selama dua jam, maka
nikotin mulai meninggalkan tubuhnya. Ketika dia berhenti merokok selama enam
jam, itu berarti menurunkan denyut nadi dan tekanan darah yang berangsur menuju
pada keadaan ekuilibrium. Ketika orang itu berhenti merokok selama 12 jam, maka
CO (karbon monoksida) mulai meninggalkan tubuhnya. "Bila dia berhenti
merokok dua hari berturut-turut, kemampuan untuk mengecap dan menghirup akan
membaik. Kalau berhenti merokok dua sampai 12 minggu, sirkulasi darahnya
membaik. Orang yang terus berhenti merokok tiga sampai sembilan bulan, batuk
dan gangguan pernapasannya akan menghilang," kata Tjandra. Perokok yang
sudah lima tahun berhenti merokok, maka risiko terkena penyakit jantung koroner
akan turun 50 persen, dan 10 tahun tidak merokok kemungkinan itu menjadi sama
dengan orang yang tidak merokok. "Angka-angka itu hanya gambaran umum,
karena hal ini juga amat tergantung pada lama dan banyaknya rokok yang diisap
masing-masing orang," lanjutnya. Tjandra Yoga Aditama menambahkan,
kemungkinan menjadi perokok pada anak-anak akan lebih tinggi pada orangtua yang
satu atau keduanya perokok. "Di Amerika, remaja perokok lima kali lebih
banyak pada mereka yang orangtuanya perokok dibandingkan dengan orangtua yang
tidak merokok." Rokok & Masalahnya juga menyebutkan beberapa efek
rokok terhadap tubuh yang jarang dipublikasikan, seperti menurunkan sistem
kekebalan tubuh hingga mengakibatkan kerontokan rambut, gangguan katarak pada
mata, kulit cepat keriput, kehilangan pendengaran dini, menimbulkan kerusakan
gigi, lebih mudah terkena.
osteoporosis, mengurangi jumlah dan kelainan
bentuk sperma, serta lebih berkemungkinan terkena kanker. Merokok tak hanya
membuat penikmatnya tidak sehat, tetapi juga merugikan keluarga dan kerabat
sendiri. Kalau sudah begini, masihkah rokok pantas untuk dipertahankan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar