Setiap saat, lahir orang-orang alim
yang mampu menghapal isi kandungan Kitab Suci Al-Quran. Hatta, orang buta atau
anak kecil. Itulah bedanya dengan Kitab Suci lain [Lanjutan Universalitas
Al-Qur’an bagian 2- habis]
Oleh: Qosim
Nursheha Dzulhadi *)
“Mengapa Al-Quran diturunkan kepada seorang Nabi yang miskin dan
buta huruf (ummiy)?
Mengapa tidak diberikan kepada pembesar Mekkah maupun Tha’if saja?” Pertanyaan
seperti ini sering terjadi. Sama hal nya dengan pernyataan, “Mengapa Al-Qur’an
berbahasa Arab?”
Banyak dalil yang mengungkap hal ini. Diantaranya; QS. 12: 2, 14: 4, 13: 37,
16: 103, 19: 97, 20: 113, 26: 193-195, 26: 198-199, 39: 28, 41: 3, 41: 44, 43:
3, 44: 58, dan 46 : 12.
Boleh dikata, hampir semua ayat tersebut menyatakan, bahwa Al-Qur’an itu
diturunkan dalam “bahasa Arab”. Adalah keliru jika karena Allah menurunkan
Al-Quran ke dalam bahasa Arab kemudian dikatakan “tidak universal”.
Kenapa Allah memilih bahasa Arab? Bukan bahasa lain? Barangkali itu adalah hak
Allah. Meski demikian, pilihan Allah mengapa Al-Quran itu dalam bahasa Arab
bisa dijelaskan secara ilmiah.
Pertama, sampai
hari ini, bahasa yang berasal dari rumpun Semit yang masih bertahan sempurna
adalah bahasa Arab. Bahkan Bible (Old Testament) yang diklaim bahasa aslinya
bahasa Ibrani (Hebrew) telah musnah, sehingga tidak ada naskah asli dari
Perjanjian Lama.
Meskipun begitu, menurut Isrâ’il Wilfinson, dalam bukunya Târîk al-Lughât al-Sâmiyyah (History
of Semitic Language), seperti yang dikutip Prof. Al-A‘zamî, ternyata bahasa
asli PL itu tidak disebut Ibrani.
Bahasa pra-pengasingan (pre-exilic
language) yang digunakan oleh Yahudi adalah dialek Kanaan dan tidak
dikenal sebagai Ibrani. Orang-orang Funisia (atau lebih tepatnya, orang-orang
Kanaan) menemukan alfabet yang benar pertama kali ± 1500 S.M, berdasarkan
huruf-huruf ketimbang gambar-gambar deskriptif.
Semua alfabet yang berturut-turut seterusnya adalah utang budi pada, dan
berasal dari, pencapaian Kanaan ini. (Prof. Dr. M.M. Al-A‘zamî, The History of The Qur’ânic Text from
Revelation to Compilation (edisi Indonesia), terjemah: Sohirin
Solihin, dkk., GIP, 2005, hlm. 259).
New Testament (Gospel,
Injil) yang diklaim bahasa aslinya adalah bahasa “Yunani” juga sudah hilang,
sehingga tidak ada naskah asli dari Injil. Bahkan, ini bertentangan dengan
bahasa Yesus, yang sama sekali tidak paham bahasa Yunani. Bukankah ini
‘mencederai’ saktralitas Injil yang diklaim sebagai ‘firman Tuhan’?
Kedua, bahasa
Arab dikenal memiliki banyak kelebihan: (1) Sejak zaman dahulu kala hingga
sekarang bahasa Arab itu merupakan bahasa yang hidup, (2) Bahasa Arab adalah
bahasa yang lengkap dan luas untuk menjelaskan tentang ketuhanan dan
keakhiratan, (3) Bentuk-bentuk kata dalam bahasa Arab mempunyai tasrif (konjungsi),
yang amat luas hingga dapat mencapai 3000 bentuk perubahan, yang demikian itu
tak terdapat dalam bahasa lain. (Lihat, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, Depag, edisi revisi, Juli 1989, hlm. 375
(foot-note).
Ketiga, Allah
menurunkan Al-Qur’an kepada Rasulullah SAW. dalam bahasa Arab yang nyata (bilisanin ‘Arabiyyin mubinin),
agar menjadi: mukjizat yang kekal dan menjadi hidayah (sumber petunjuk) bagi
seluruh manusia di setiap waktu (zaman)
dan tempat (makan);
untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya: dari kegelapan
“syirik” kepada cahaya “tauhid”, dari kegelapan “kebodohan” kepada cahaya
“pengetahuan”, dan dari kegelapan “kesesatan” kepada cahaya “hidayah”.
Tiga poin itu berjalan terus atas izin Allah sampai dunia ini hancur, yakni
Risalah (Islam), Rasul (Muhammad SAW) dan Kitab (Al-Qur’an)). (Lihat, Prof. Dr.
Thaha Musthafa Abu Karisyah, Dawr
al-Azhar wa Jami‘atihi fi Khidmat al-Lughah al-‘Arabiyyah wa al-Turats
al-Islamiy, dalam buku Nadwat
al-Lughah al-‘Arabiyyah, bayna al-Waqi‘ wa al-Ma’mul, 2001, hlm.
42).
Karena Islam itu satu risalah (misi) yang “universal” dan “kekal”, maka
mukjizatnya harus retoris (bayaniyyah),
linguistik (lisaniyyah)
yang kekal. Dan Allah telah berjanji untuk memelihara Al-Qur’an, seperti yang
Ia jelaskan, “Sesungguhnya Kami yang menurunkan al-Dzikra (Al-Qur’an) dan Kami
pula yang memeliharanya.” (Qs. 15: 9).
Keempat, menurut
Syeikhu’l-Islam, Ibnu Taimiyah, “Taurat diturunkan dalam bahasa Ibrani saja.
Dan Musa ‘alayhissalam tidak berbicara kecuali dengan bahasa itu. Begitu juga
halnya dengan al-Masih: tidak berbicara tentang Taurat dan Injil serta perkara
lain kecuali dengan bahasa Ibrani. Begitu juga dengan seluruh kitab. Ia tidak
diturunkan kecuali dengan “satu bahasa” (bilisanin
wahidin): dengan bahasa yang dengannya diturunkan kitab-kitab
tersebut dan bahasa kaumnya yang diseru oleh para rasul.
Seluruh para Nabi, menyeru manusia lewat bahasa kaumnya yang mereka ketahui.
Setelah itu, kitab-kitab dan perkataan para Nabi itu disampaikan: apakah
diterjemahkan untuk mereka yang tidak tahu bahasa kitab tersebut, atau
orang-orang belajar bahasa kitab tersebut sehingga mereka mengerti
makna-maknanya. Atau, seorang utusan menjelaskan makna-makna apa yang dengannya
ia diutus oleh Rasul dengan bahasanya...” (Lihat, Ibnu Taimiyah, al-Jawb al-Shahih liman Baddala
Dina’l-Masih (Jawaban Yang Benar, Bagi Perubah Agama Kristus),
(Cairo: Dar Ibnu al-Haytsam, 2003, jilid 1 (2 jilid), hlm. 188-189).
Sebagaimana Taurat dan Injil, Al-Quran diturunkan dalam satu bahasa, bahasa kaumnya.
Bedanya, kenabian yang ada sebelum Islam, hanya diperuntukkan pada kaum
tertentu atau zaman tertentu (lokalitas) saja. Nuh misalnya, hanya diutus
kepada kaumnya (QS. 7: 59); Hud kepada kaumnya (QS. 7: 65); Shaleh kepada
kaumnya (QS. 7: 73); Luth kepada kaumnya (QS. 7: 80); Syu‘aib kepada kaumnya
(QS. 7: 85); dan Musa kepada Fir‘aun dan para punggawanya (QS. 7: 103).
Dakwah Nabi SAW di “Ummu’l-Qura”,
sebagaimana arti yang sudah dijelaskan panjang lebar, bukan hanya dalam
pengertian Mekkah semata. Juga bukan hanya untuk orang Quraisy, tidak pula
untuk Jazirah Arabia saja, tapi untuk seluruh alam. (Baca QS. 25: 1, 34: 28, 7:
158, dan 9: 33).
Jika kalangan Nasrani menganggap Al-Quran tidak universal, maka,
seharusnya yang lebih tidak universal justru Bible.
Meski bahasa Arab adalah bahasa yang rumit, namun bukanlah hal
susah bagi umat Islam menghapalkannya. Ini berbeda dengan kitab suci lain,
sebagaimana Bible misalnya. Keuniversalan Al-Quran lainnya, dibuktikan dengan
bagaimana Allah menjaganya melalui orang-orang alim dan yang memiliki kelebihan
dalam menghapalkannya (tahfiz).
Meski terdiri dari ribuan ayat, dalam sejarah, selalu saja banyak orang mampu
menghapalkannya secara cermat dan tepat. Hatta, ia orang buta atau anak kecil
sekalipun. Al-Quran, mudah dihapal atau dilantunkan dengan gaya apapun. Diakui
atau tidak, ini berbeda dengan Bible atau Injil.
Karena itu, setiap usaha apapun untuk menambah atau mengurangi
Al-Quran baik yang dilakukan kalangan orientalis atau orang kafir dalam sepanjang
sejarah selalu saja ketahuan. Jangan heran bila banyak umat Islam tiba-tiba
ribut gara-gara ada Al-Quran palsu atau sengaja dipalsukan sebagaimana terjadi
dalam kasus “The True
Furqon.” Barangkali itulah cara Allah menjaganya.
Dan hebatnya, para penghapal
Al-Quran, setiap saat selalu saja lahir dan bisa ditemukan di seluruh dunia.
Untuk yang seperti ini, di Indonesia, bahkan sudah mulai banyak dijadikan
sebagai pesantren-pesantran formal.
Sebaliknya, bagi kita, belum pernah terdengar ada orang Kristen atau Yahudi
yang hapal keseluruhan kitab suci mereka. Bahkan termasuk pendeta atau pastur
sekalipun. Mengapa bisa demikian? Saya kira Anda lebih tahu jawabannya. Wallahu a‘lamu bi al-shawab.